Tuksedo Studio adalah spesialis manufaktur mobil-mobil klasik yang dibuat secara handmade dan bergerak dalam bidang pembuatan kit car, modifikasi, rekreasi, hingga restorasi kendaraan. Seluruhnya dibuat dari nol, re-creation dengan material yang sama di tahun dimana mobil klasik itu diproduksi.
Ketika mengunjungi Tuksedo Studio di Bali, kami melihat bagaimana mereka bekerja, berkreasi, bebas mengutarakan imajinasi. Seketika terlihat bakat dari para leluhur, seakan melihat kembali kemahiran empu-empu pandai besi dalam wujud yang nyata dalam masa yang berbeda. Kerja detail, sabar, melalui proses satu persatu dengan imajinasi tanpa batas.
EMPU PANDAI BESI
Blacksmith/pandai besi pembuat keris ataupun pengolah material logam dari zaman leluhur seakan hilang dari penglihatan generasi masa kini, terutama pandai besi yang diberi gelar empu, maknanya seakan jauh ditelan waktu.
Kami merenungi ini sebagai sisa-sisa dari tradisi, seni maupun kebudayaan. Seharusnya kemaempuan itu semua masih ada di antara kita, entah itu ruang kerja, pola kerja atau mungkin mungkin saja memang ada, namun ia masih tertidur di dalam DNA manusia Indonesia.
Sumber: Repro Buku Keris Antik Wangkingan Kebo Hijau.
Pandai besi di masa kini, terutama di sebagian besar masyarakat perkotaan Indonesia, biasa kita kenal sebagai profesi tukang. Ada kesan bahwa ini adalah pekerjaan yang agak terpinggirkan. Akan tetapi di tatanan masyarakat Jawa Kuno, profesi ini dihargai sangat tinggi dan bahkan disejajarkan atau disetarakan dengan “manusia setengah dewa”. Prasasti Sangguran yang berangka tahun 850 Çaka atau 928 Masehi yang ditemukan di sekitar Batu, Malang, menyebutkan seorang pandai besi disetarakan dengan Bhatara (Harianto, 2023).
Pandai besi yang paling dikenal dalam sejarah Nusantara, yaitu empu Gandring. Kisah empu Gandring tidak terbatas pada kehidupan tukang besi saja. Melalui kitab Pararaton-lah kita akhirnya tahu bagaimana seorang pandai besi seperti empu Gandring, bisa merubah, mempengaruhi bahkan mengutuk jalannya sejarah, dari Kerajaan Singosari ke Majapahit.
Pararaton menceritakan bagaimana adegan sejarah ketika empu Gandring mengerjakan pembuatan keris Ken Arok pendiri kerajaan Singosari. Perkerjaan Pembuatan keris terakhir yang akan mengakhiri hidup sang empu dicatat oleh Kitab Pararaton:
“Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Arok datang lalu bertanya: “Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.”
Empu Gandring menjawab:
“Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira-kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,”
Empu Gandring menyebut pembuatan kerisnya membutuhkan waktu satu tahun. Dikarenakan proses pembuatan keris tidaklah mudah, membutuhkan detailing yang berlapis, belum lagi menghitung arah mata angin yang hanya bisa dikendalikan oleh faktor alam dalam salah satu proses produksinya, juga faktor-faktor lain yang akan diperhitungkan kemudian. Pencarian material juga disebut membutuhkan waktu cukup panjang. Namun, ternyata Ken Arok bukanlah pemesan yang sabar, karena marah kerisnya tidak selesai dalam lima bulan, ia menusukkkan keris buatan Empu tersebut pada pembuatnya. Sebelum tewas, empu gandring menyumpahi Ken Arok:
“Buyung Angrok (Ken Arok), kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu.”
Dok. Komik Ken Arok & Ken Dedes, oleh RA. Kosasih (Kiri)
Patung di GOR Ken Arok Malang (Kanan).
Drama sejarah dimulai karena satu kecerobohan: tidak sabar menunggu seniman pandai besi mengerjakan karyanya. Membuat keris, tidak mudah. Misal, pada materialnya adalah besi yang unsur utama terciptanya sebuah pusaka, baik itu pusaka keris, tombak, pedang, kujang, wedung, dan lain sebagainya. Seorang empu dalam melahirkan pusaka ciptaannya tentulah diramu dengan bahan-bahan besi pilihan yang diyakini memiliki kekuatan, tuah serta keindahan alami dari masing-masing jenis besi sebagai bahan baku pusaka tersebut. penggolongan besi secara tradisional ini sulit dipelajari maupun untuk dibuat catatannya. Empu zaman dahulu tidak hanya memiliki olah spiritual tinggi, tetapi juga seorang linuwih yang memiliki pengetahuan ilmu metalurgi dengan menggunakan kepekaan olah rasa maupun batin sehingga dapat mengetahui bahan logam yang berkualitas serta berenergi baik.
Dari berbagai logam yang berkualitas dan berenergi baik tersebut, kemudian akan dipilih berdasarkan tuahnya untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pusaka agar sesuai dengan tujuan dan karakter pemesannya, karena selain dari dapur dan pamor, tuah sebilah pusaka juga dapat ditilik dari jenis besi yang digunakan dalam proses pembakarannya. Ketika seorang empu hendak membedakan berbagai jenis besi, mereka mendengarkan bunyinya jika dijentik, rabaan permukaan, serta dengan perasaan hatinya (Aquan, 2023).
Kisah Ken Arok dan Empu Gandring juga mengingatkan kepada sosok Hotaru Haganezuka, seorang pandai besi di film seri anime, berjudul Kimetsu no Yaiba/Demon Slayer di season 4, di mana karakter ini digambarkan kerap marah ketika diganggu saat berproses membuat katana atau ketika katana yang ia buat dengan ketahanan luar biasa menjadi rusak karena dipakai Tanjiro.
Ketika Tanjiro dan Muichiro berkunjung ke Swordsmith Village yang merupakan desa tempat tinggal para pandai besi, mereka dihadapkan dengan serangan iblis-iblis yang membabi buta. Padahal desa ini telah disembunyikan oleh para ahli selama bertahun-tahun dari para iblis, agar kerahasiaan penempa senjata pembasmi iblis dapat terus terjadi. Hingga pada satu ketika, iblis menemukan desa itu dan langsung saja mereka melayangkan serangan bertubi-tubi untuk meluluhlantakkan Swordsmith Village, dengan tujuan agar tak ada lagi pendekar pedang (Hashira) terkuat dalam korps pembasmi iblis.
Dok. kimetsu-no-yaiba.fandom.com/wiki/Hotaru_Haganezuka
Ketika Gyokko, iblis yang berbentuk guci mendobrak masuk ke dalam rumah sang pandai besi, Haganezuka tetap saja mengasah katana, tak peduli dengan ancaman dan gangguan apapun. Iblis guci sempat terpana, terpesona melihat pedang itu, terlebih melihat sang penempa yang memiliki daya konsentrasi tinggi, saking fokusnya sampai-sampai tak menyadari kehadiran iblis guci, itu membuat si iblis dongkol tak keruan. Dicabik-cabiknya punggung sang penempa, namun Haganezuka tak bergerak sedikitpun, ia terus mengasah pedangnya, tak peduli apapun yang menghalanginya, ia tak takut mati. Membuat katana adalah hidupnya, kalau memang sebilah katana belum selesai, ya belum selesai. Jangan berani-berani mengganggu, harus sabar melalui setiap prosesnya. Penggambaran visual penempaan kesabaran seorang pandai besi seperti ini membuat sejarah lebih mudah diterima, dipahami dan dirasakan dan sekali lagi adegan ini mengingatkan para Empu pandai besi Nusantara yang juga detail dalam memproduksi keris. Di masa kini, inilah semangat yang terlihat real dan terwariskan dalam bengkel Tuksedo Studio.
Di dalam bengkel Tuksedo Studio, kami melihat sekumpulan anak muda yang bekerja dengan suasana bermain. Mereka seperti sedang merakit lego, menggambar, membentuk, melukis, menjahit, dengan suara musik rock yang diputar kencang menggema, tentu saja.
Pudji Handoko terlihat santai memegang cerutu di tangan kanannya, memberi arahan kepada timnya. Kami takjub dengan suasana kerja yang begitu bersemangat, api di dalam tubuh mereka seakan berkobaran dalam suasana yang seimbang dalam gelombang dan getaran yang senada. Tak heran, dengan suasana seperti ini, kami melihat kembali kemahiran leluhur Nusantara. Ada keyakinan besar, bahwa kemampuan itu tidak akan pernah luntur ditelan zaman. Semua akan kembali kepada siapa yang memiliki keseriusan dalam mengasah “pedang”. Pudji Handoko dan anaknya yang bernama Gusti, selaku founder dan co-founder Tuksedo Studio, telah membangunkan kembali masa kejayaan itu. Cahaya peradaban leluhur, tengah bersinar di bengkel mereka.
Kami juga melihat beberapa meja besar yang diatasnya diletakkan berbagai aksesoris untuk mobil-mobil yang dibuat sangat rinci, bentuknya dibuat sangat mirip, speedometer juga dibentuk, dilukis beserta logo, garis dan angka yang presisi.
Dok. Tuksedo Studio
Sebagai sebuah tempat mereplikasi mobil klasik, Pudji Handoko telah membangun ulang sejumlah mobil langka di dunia. Diantaranya Porsche 356 A Coupe, Porsche 550 Spyder, Mercedes Benz 300 SL Gullwing, Toyota 2000 GT 1968, Jaguar XK 120, Ferrari 250 GTO, hingga Maserati 450S dan lainnya. Kendaraan ini dibuat dari lembaran pelat, lalu diolah sedemikian rupa dengan proses panjang antara enam sampai dua belas bulan, sampai akhirnya menjadi mobil seperti yang bisa dilihat. Berbahan dasar alumunium yang ringan, sehingga memiliki kekuatan yang tepat untuk menopang mobil berkecepatan tinggi.
Sebelum melalui proses produksi, team Tuksedo Studio membangun blueprint, lalu diterjemahkan menjadi tiga dimensi, kemudian dirancang dengan kerangka dari besi beton, moulding kayu. Setelah itu dibentuklah pelatnya dengan melalui beberapa tahapan-tahapan yang kompleks. Sementara untuk mesinnya sendiri, menggunakan dapur pacu mobil lain yang memiliki silsilah sejarah dari mobil tersebut. Misalnya, Porsche 356, yang dibangun dari mesin pacu Volkswagen Beetle 1300.
“Desain yang kita buat itu hak ciptanya sudah dibuka dan bisa diakses siapapun dan gampang didapatnya,” ucap Pudji Handoko untuk menjelaskan bahwa replikasi ini bisa ia lakukan secara legal.
Teknik produksi yang dilakukan oleh Tuksedo Studio adalah mengkreasi ulang teknik pembuatan mobil yang dipakai oleh produsen-produsen mobil dunia kala itu, sehingga mereka juga membuat berbagai peralatannya sendiri untuk melakukan semua proses teknis dan mekanisme tersebut.
Dok. Tuksedo Studio
Saat ini Tuksedo Studio merilis brand mobil mereka sendiri yang diberi nama Firstlady, satu langkah besar yang akan kita lihat hasilnya suatu hari nanti. Pudji Handoko menunjukkan desain-desainnya kepada kami di ruang eksklusif. Rancangan mobil Firstlady berkelas internasional, sangat percaya diri jika disandingkan dengan mobil-mobil buatan negara-negara lain di dunia. Desain-desain itu dicetak menjadi satu buku berukuran A3 agar dapat dilihat keindahan konsep desainnya secara maksimal.
Tuksedo Studio adalah manusia-manusia indonesia yang masih menjaga dan merawat kemahiran leluhur empu-empu pandai besi Nusantara.
Terobosan-terobosan seperti Tuksedo Studio akan menjadi manifestasi bagi Indonesia di masa depan. Indonesia yang kaya akan alam, seni dan budaya, menjaga dan merawat kebudayaan jelas erat hubungannya dengan tanah air nusantara.
Dok. Tuksedo Studio
Erat hubungannya dengan kemahiran empu-empu pandai besi dalam mengolah logam. Mereka terus mengembangkan kemampuan leluhur nusantara agar terus berkembang, berevolusi dan regeneratif.
Tuksedo Studio membuka harapan bagi masa depan manufaktur Indonesia. Mereka berhasil menginspirasi generasi muda untuk dapat bekerja secara excellent.
Nothing is imposible menjadi satu kalimat yang tepat untuk menggambarkan Tuksedo Studio. Di sini dapat dilihat ketekunan dan keseriusan dalam menjalani sebuah pekerjaan. Jangan anggap keseriusan itu identik dengan pekerjaan yang kaku, malah sebaliknya, excitement dan curiosity jadi kunci bagi Tuksedo Studio
Tuksedo Studio
Spesialis manufaktur mobil-mobil klasik yang dibuat secara handmade dan bergerak dalam bidang pembuatan kit car, modifikasi, re-kreasi, hingga restorasi kendaraan.
Slogan
Welcome to the place where science and art break even.
Pudji Handoko
Founder
Laksamana Gusti Handoko
Co-Founder
Lokasi
Jl. Tukad Tampuagan No.356, Ketewel, Kec. Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali 80582
Website
tuksedostudio.com
Media Sosial
Instagram @tuksedo.studio
Penulis Jagarawat










