Teater ini terlahir dari rasa kepedulian yang tinggi terhadap generasi muda, agar mereka memiliki minat membaca dengan pendekatan seni rupa dan pertunjukan. Awalnya, Maria Tri Sulistyani dan suaminya Iwan Effendi, hanya ingin berkontribusi melalui cerita yang menggugah kepada anak-anak di kampung Yogyakarta. Namun karena dedikasi dan konsistensi mereka, membuat Papermoon Puppet mendapat pengakuan di kancah Internasional dan telah melakukan pertunjukan di beberapa negara.
KESENIAN BISA LAHIR DARI MANAPUN
Pasca gempa di Yogyakarta 2006, Papermoon menjadi wadah program penyembuhan trauma, mereka bekerja sama dengan beberapa pihak untuk membuat program yang berhubungan dengan trauma healing dan mengelilingi beberapa desa di Bantul dan Wonosari. Teater boneka dipilih sebagai media untuk bercerita. Mereka membuat satu tenda khusus untuk perpustakaan, agar anak-anak bisa bereksperimen dengan media seni. Papermoon Puppet telah menghasilkan lebih dari 30 pertunjukan boneka, instalasi seni dan pameran seni rupa. Mereka memperkenalkan wajah Indonesia di empat benua (Asia, Eropa, Australia dan Amerika). Teater ini aktif juga membuat workshop, pertunjukan, festival boneka dengan jaringan internasional hingga mengundang puppeteer dari seluruh dunia untuk hadir ke Yogyakarta.
(R)EVOLUSI WAYANG?
Jika ditelusuri secara historis, Papermoon Puppet merupakan evolusi dari seni pertunjukan wayang. Mereka membuat karakternya menjadi tiga dimensi, sehingga terlihat lebih hidup dan seolah bernyawa. Desain wajah, tubuh, pakaian, latar belakang dengan segala detail ornamen yang sederhana namun kompleks, dirancang untuk mewakili perasaan dari setiap karakternya. Suatu inovasi dari wayang yang semakin wantek (tangguh) dan balung sungsum (mengakar).
Desain wajah, tubuh, pakaian, latar belakang dengan segala detail ornamen yang terlihat sederhana namun kompleks, dirancang untuk mewakili perasaan dan alur cerita dari setiap karakternya. Ini merupakan inovasi dan evolusi dari wayang yang semakin wantek (tangguh) dan balung sungsum (mengakar).
Cerita yang sampaikan oleh Papermoon Puppet, mereka tulis sendiri, disampaikan dengan makna yang dalam, untuk mampu membawa rasa, emosi menaik menurun, selayaknya menyaksikan wayang di masa lalu. Persis seperti yang tertulis dalam lontar kakawin Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa pada masa Prabu Airlangga, kurang lebih tahun 1030 masehi, ditulis di pupuh Sikarini kaping 9:
“Hana Nonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikana ri tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman”
Yang artinya:
“Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya. Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu. Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja, sampai tak tahu, bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka” (Jurnal Kebudayaan, Vol.13 No 1, Agustus 2018, Hal 80).
Dapat dibayangkan pada masa itu, bagaimana orang berbondong-bondong dengan rasa penasaran yang sangat tinggi untuk menyaksikan pertunjukan seni wayang yang begitu memesona, membangun imajinasi tak terbatas bagi semua kalangan di segala umur. Sebagian besar orang terhibur sekaligus tergugah, sihir apa ini? Hingga mampu mengaduk-aduk perasaan, terbawa suasana dan melebur dalam cerita. Seluruh desain olah rasa itu dibuat dan dilakukan oleh para seniman yang bekerja secara kolektif membangun sebuah pertunjukan megah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Rumit, detail dengan pakaian yang berbeda-beda serta karakter visual yang dibuat sederhana seperti karakter kartun, namun kesederhanaan itu berciri, membuat para penonton bisa membedakan antara satu karakter dengan karakter lainnya. Dengan latar yang sepenuhnya mendukung setiap adegan. Alunan musik gamelan yang mendampingi cerita demi cerita, memberi efek yang lebih dramatis. Sungguh satu karya agung yang diciptakan oleh para seniman.
Apakah wayang menjadi inspirasi bagi dunia seni pertunjukan? Mengingat Nusantara kala itu menjadi tujuan negara-negara dari belahan dunia? Namun yang jelas pada abad ke-19 sudah menjadi kebiasaan negara-negara kolonial, seperti Belanda, mengirimkan karya seni budaya negeri jajahan mereka di pameran Universelle Paris.
Wayang pun bisa saja disebut sebagai cikal bakal dari film animasi kartun. Karena pola karakter manusia yang mengambil cirinya saja, semisal postur tubuh yang chibi atau kerdil dan tubuh yang aneh proporsinya. Namun, sejarah film animasi dan kartun, serta teater boneka, tidak menyertakan Wayang dalam historiografi mereka.
Begitu pula sejarah teater Boneka. National Today, melansir bahwa sejarah teater Boneka sudah ada sejak temuan kepala terakota dengan tali di Lembah sungai Indus sekitar 2500 SM. Temuan lainnya pada 2000 SM yaitu boneka kayu untuk membuat roti pada sisa peradaban Mesir Kuno. Catatan lain muncul dari tulisan Herodotus (bapak sejarah) di Yunani sekitar abad ke 5 SM yang menyebut bahwa saat itu sudah ada seni pertunjukan boneka. Sejak Era Yunani Kuno, 2429 tahun kemudian, didirikan Union International De La Marionette (UNIMA) di Prague tahun 1929. Tahun 2003, UNIMA mendeklarasikan hari Teater Boneka Sedunia pada 21 Maret.
Apakah dengan demikian sejarah wayang tidak berkaitan dengan sejarah teater boneka? Sebelum digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai medium dakwah, Wayang kulit digunakan sebagai media kisah Mahabarata dan Ramayana. Kedua kisah ini merupakan kisah tertua di dunia yang dihasilkan oleh peradaban India Kuno yang berpusat di Lembah sungai Indus.
Pada perkembangannya, bentukan karakter wayang identik dengan karakter film kartun, menggambar sosok manusia namun dengan mengangkat ciri khasnya yang dilebih-lebihkan, seperti hidung yang kelewatan mancung, badan yang pendek, tangan yang panjang dengan pakaian dengan pola detail yang mengesankan. Menurut sejarahnya, dunia animasi pertama di dunia diciptakan oleh seorang seniman asal Prancis bernama Emile Cohl pada tahun 1908. Film ini terdiri dari gambar-gambar tangan yang digambar langsung pada kertas, yang kemudian difoto frame demi frame untuk menciptakan ilusi gerak. Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sejauh mana generasi-generasi bangsa ini telah berkontribusi bagi evolusi wayang?
Papermoon Puppet adalah salah satunya. Sebuah komunitas puppeteer dari Yogyakarta, yang diprakarsai oleh Maria seorang lulusan FISIPOL UGM dan Iwan Effendi, seorang seniman lulusan Institut Seni Indonesia, Fakultas seni rupa, jurusan seni murni. Sampai hari ini Papermoon Puppet tidak pernah mendeklarasikan komunitasnya bagian dari sejarah Wayang. Tapi kami menangkap kesamaan semangat diantara dua penciptaan yang berjarak seribu tahun ini.
Pertunjukan boneka wayang dari bahan baku utama kertas ini memiliki efek bius yang luar biasa, merajut wayang tiga dimensi, dengan sekelompok pemain yang menggerakkan boneka tersebut. Pertunjukan seni ini seharusnya menjadi titik awal evolusi wayang (entah titik awal yang ke berapa kalinya).
Papermoon Puppet, terlepas bagian dari sejarah Wayang atau bukan, telah memberikan harapan yang besar, bahwa warisan kemahiran leluhur Nusantara, di kancah pertunjukan dunia sangat patut dipertimbangkan. Papermoon Puppet mengangkat cerita-cerita yang ditulis sendiri berdasar pada kehidupan sehari-hari dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang relevan. Mereka juga menalar isu kerusakan lingkungan dari sudut pandang yang berbeda. Kisah-kisah itu diantaranya seperti, A Bucket of Beetles, The Scavengers, Before Sunrise, The World of Siwa and Malini, Watugunung, dan banyak lagi cerita-cerita lainnya dari Papermoon Puppet.
Papermoon Puppet dan seni wayang, meskipun ada pada rel sejarah yang berbeda, sama-sama mengandalkan cerita, dan penokohan cerminan sifat manusia. Dengan begini kita akan mengenal diri sendiri serta leluhur kita.
Langkah yang mereka lakukan bukan saja menjaga dan merawat kemahiran leluhur, namun lebih dari itu, mereka memperkenalkan budaya terbarukan kepada dunia. Material yang mereka gunakan dalam pembuatan properti boneka, latar, kostum dalang dan sebagian besarnya juga sangat melekat dengan alam Indonesia, semua berbahan dasar kertas dan kain yang diolah dengan kreativitas tanpa batas. Kesenian bisa lahir dari manapun, dari bencana sekalipun. Sebab kita sendirilah yang membangun ulang kebudayaan kita. Siklus ini biasa bagi leluhur kita yang tinggal di negeri ring of fire. Seharusnya ini menjadi fondasi bagi generasi masa depan, sebagai referensi yang patut dijaga serta dirawat, menjaga kearifan lokal yang akan terus berkembang.
Papermoon Puppet
Komunitas puppeteer dari Yogyakarta. Workshop, pameran, residensi, serta pertunjukan boneka wayang dari bahan baku utama kertas.
Pendiri
Maria Tri Sulistyani
Direktur Artistik
Iwan Effendi
Direktur Artistik
Lokasi
Sembungan, Bangunjiwo, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55184
Website
papermoonpuppet.com
Media Sosial
@papermoonpuppet
Penulis Jagarawat