Pada periode prasejarah, manusia hidup berburu dan berpindah-pindah mengikuti sumber makanan yang bisa didapatkannya. Saat itu manusia hidup hanya untuk makan, kemudian manusia sampai pada suatu periode sejarah yang disebut revolusi neolitikum. Yakni ketika ditemukannya cara bercocok tanam.
Sejak itu manusia mampu memproduksi makanannya sendiri kemudian menyimpannya. Dengan demikian manusia memiliki waktu luang untuk memikirkan hal lain, seperti berkreasi seni, sebab teknologi bercocok tanam, membuat makanan akan tersedia sampai hari-hari berikutnya.
Dok. World History
Seni adalah tanda bahwa manusia sudah lepas dari kondisi alamiah yang membuatnya setara dengan binatang. Seni menandakan bahwa manusia memiliki waktu lebih untuk berpikir bahkan berkhayal. Temuan arkeologi di Bone, Sulawesi Selatan berupa lukisan gua yang diperkirakan berumur 40.000 tahun yang lalu, menandakan bahwa pada saat itu nenek moyang Nusantara sudah mengenal seni atau memiliki waktu luang untuk berkreasi.
Dok. Maxime Aubert, Griffith University Australia
Pada zaman berikutnya, temuan prasasti Yupa di Pulau Kalimantan sekitar abad ke-4 menandakan pengaruh Indianisasi di Nusantara. Penemuan ini, menandai bukti paling awal hadirnya kerajaan Hindu-Buddha, yaitu Kerajaan Kutai. George Coedes adalah salah satu ahli sejarah yang mendukung hipotesis bahwa banyak ragam budaya di Nusantara pada abad tersebut yang dipengaruhi oleh kebudayaan India. Namun, berbagai bukti warisan kesenian berkata lain.
Prasasti Yupa di Kalimantan. Dok. kebudayaan.kemdikbud.go.id
Kreasi dan daya cipta masyarakat Nusantara melebihi kebudayaan India. Candi Borobudur dan Prambanan memiliki daya kreasi lebih tinggi, dipenuhi dengan ragam hias yang lebih kaya, yang tidak bisa ditemukan pada candi-candi di India. Terlebih lagi, candi terbesar di dunia bukan di India, tapi di Nusantara. Meski Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya yakin motif Batik dipengaruhi oleh seni ragam hias kain Patola, India, tetapi tidak ada penemuan canting (alat membatik di wilayah di India. Bahkan menurut pendapat ahli bernama, Inger McCabe Elliot, canting merupakan alat ‘perintang warna’ yang tidak ditemukan di belahan dunia manapun selain di Nusantara.
Dok. Han Sen
Perpaduan budaya dan keanekaragaman hayati Indonesia dipercaya sebagai sebuah ladang yang tidak habis sebagai sumber inspirasi. Rempah-rempah yang berasal dari Maluku, melaju ke pelabuhan Makassar, Cirebon, Banten, Malaka hingga pelabuhan Aceh, mengantarkan komoditas tersebut sampai ke tangan terakhir. Kekayaan sumber daya rempah-rempah menjadikan masakan di Nusantara termasuk masakan dengan kekayaan bumbu tiada tara. Melalui Kuliner di Aceh kita semakin menyadari betapa beragamnya kebudayaan Nusantara. Mie Aceh tidak hanya mewakili kebudayaan rencong. Dari komposisi bumbu dan bahannya, Mie Aceh adalah perpaduan antara kuliner Cina, Arab dan India.
Kekayaan kuliner Nusantara bukan hanya dari segi bumbu dan bahan, tetapi mampu menghasilkan kreasi artistik dalam menata makanan. Tradisi tumpeng merupakan salah satu bukti pentingnya tampilan visual kuliner di Nusantara.
Patung Megalitikum di Lembah Behoa Poso Sulawesi Tengah
Kebudayaan Nusantara juga memiliki kesamaan dalam memandang perahu. Temuan kuburan batu era Megalitik berbentuk perahu di Sumatera utara, tradisi tenun kain motif perahu di Lampung, ukiran perahu suku Asmat Papua hingga ukiran perahu di candi Borobudur menandakan betapa pentingnya simbol ‘perahu’ dalam kehidupan nenek moyang kita. Perahu bukan sekedar alat transportasi, tradisi kubur batu berbentuk Perahu memiliki makna bahwa perahu adalah kendaraan mistis yang membawa mereka ke alam baka.
Dok. Korea Bizwire
Nusantara menyimpan begitu banyak tradisi, seni dan kebudayaan, pengaruhnya besar bagi peradaban dunia. Namun evolusi yang terjadi seolah kurang menjadi inspirasi bagi Indonesia sendiri, kita terlalu larut dalam budaya luar yang terbalut entertainment serta gimmick yang tebal.
Generasi demi generasi yang meninggalkan akar kebudayaannya, sedikit tapi pasti, menggerus kemasyuran budaya Nusantara. Saatnya kembali menoleh ke belakang, mempelajari semua informasi dan teknologi yang ditinggalkan leluhur, untuk melangkah maju ke depan dengan segala kemampuan manusia Indonesia, baik yang tersimpan maupun yang sedang muncul ke permukaan.
Dok. Dragon Ball Wiki
Tenkaichi Budokai (Dragon Ball) saja mengambil latar belakang arsitektur dan ornamen Bali. Berarti Son Goku, Klilin, Piccolo bahkan Cell pernah plesiran ke Pulau Dewata untuk mencari lawan yang sebanding. Pendekar dari penjuru bumi berkumpul dalam dunia rekaan yang diciptakan oleh Akira Toriyama. Semesta fiksi Dragon Ball pun tidak luput dari kekayaan imajinasi tanah Nusantara.
Dok. Wantilan Art Center
Terlihat jelas bentuk-bentuk gapura seperti di Bali, dengan wajah monster yang biasa kita sebut Bathara Kala. Arena dalam komik Dragon Ball yang diciptakan orang Jepang, yang mirip dengan Wantilan, yang biasanya menjadi panggung pertunjukan sampai arena sabung ayam. Petugas pendaftaran turnamen juga memakai udeng khas Bali, dengan foreground Kamesennin (Mutenroshi/Master Roshi/Jin Kura-Kura) yang membawa koper bertuliskan “Bali”.
Dok. Dragon Ball Wiki
Akira Toriyama menganggap Bali sebagai negeri impian, setidaknya dalam komik Dragon Ball. Karena dalam menciptakan Tenkaichi Budokai ia harus memutar otak untuk menciptakan suasana yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Water Navi. Dok. 20th Century Studios
Film Box Office Avatar 2 (2022) juga mengambil inspirasi dari kehidupan sea people di Di Indonesia. Yaitu Suku Bajo yang bisa bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Orang Bajo dikenal bisa lebih tahan lama menyelam di air. Mereka disebut-sebut bisa tahan sampai 13 menit di kedalaman 60-70 meter tanpa alat bantu nafas atau oksigen. Apabila tanpa alat bantu nafas, rata-rata manusia awam hanya bisa bertahan 30 sampai 60 detik di dalam air (CNNIndonesia.com).
Water Navi. Dok. 20th Century Studios
Suku Bajo. Dok. National Geographic
“Ada orang laut di Indonesia (Bajo) yang hidup di rumah panggung (di laut) dan di atas rakit dan semacamnya. Kami melihat hal-hal seperti itu, dan kami melihat beberapa desa berbeda dengan way of water (jalur air) yang memakai arsitektur pepohonan lokal,” jelas Cameron dalam The Science Behind James Cameron’s Avatar: The Way of Water di kanal YouTube National Geographic, dikutip Rabu (21/12/2022). “Semua budaya Na’vi tidak mau menebang pohon, menggergajinya jadi kayu potong, dan membangun bangunan dari kayu itu. Mereka ingin berintegrasi dengan alam dengan cara simbiosis yang alami dan yang menunjukkan rasa syukur atas lingkungan hidup mereka. Jadi kami harus menghadirkan arsitektur khas mereka (di film ini),” tambahnya.
Suku Bajo lahir dan hidup di laut sehingga punya ketangguhan mengarungi lautan. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantungan terhadap laut belum hilang. Banyak dari mereka yang masih berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Bajo kadang dianggap bajak laut dan perusak, padahal mereka memiliki kearifan dalam mengelola ekosistem laut (National Geographic, 2011).
Dok. Antara Foto/Andri Saputra
Dengan demikian semakin valid bahwa Nusantara adalah negeri imajinasi. Berkaryalah dengan dengan kalimat ini sebagai akar yang kokoh, akar yang sudah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Akar itu tak akan hilang sampai kapanpun, jejaknya ada di dalam diri setiap manusia Indonesia. Telusuri jejaknya, rasakan kehadirannya di rongga tubuh kita. Ia mengalir deras seperti api yang tak kunjung padam.
Dok. Aleksandar Pasaric
Pemahaman ini harus mengakar, agar manusia Indonesia menyadari nilai kebudayaan bangsanya begitu kaya. Sekaya para seniman Indonesia yang terus berjuang dalam susah maupun senang, dipandang sebelah pandang untuk era kejayaan nantinya. Tetaplah berjuang di tengah pola sosial yang masih saja ada remehan sekitar akibat industrialisasi. Mereka adalah pejuang yang akan membawa kebudayaan Nusantara menuju titik tertinggi dan terus berulang dari masa ke masa.
Dok. Paul Deetman
Lalu mengapa hari ini kita memunggungi leluhur kita yang berhasil menjadi inspirasi dunia? Gajah dipelupuk mata tak tampak agaknya menjadi sindiran keras yang ditinggalkan leluhur untuk kita, hingga lupa kehebatan bangsa kita sendiri. Sebagaimana leluhur kita, tetaplah berimajinasi dan tidak hidup dari imajinasi bangsa lain!
Penulis Jagarawat