Ada sebuah Istana Kesultanan Melayu yang masih kokoh berdiri menantang masa. Menjadi tradisi turun-temurun bagi wisatawan asing untuk berziarah ke para leluhur mereka di sini. Membuat kami berpikir dua kali, bagaimana bisa kota seindah dan sekaya ini, setelah masa kemerdekaan hanya berperan sebagai Kecamatan?
Melintasi sungai Siak (dulu bernama sungai Jantan), berdiri kokoh jembatan penghubung antara tanah Siak dan Istana.
Lingkungan luar Istana menjadi saksi sejarah berdirinya area pecinan yang masih berdiri gagah, walau sebagian telah terbakar habis pada 17 Februari 2018.
Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah menjadi penguasa di Sumatera. Kebesaran kerajaan ini terlihat dari Istana Siak Sri Indrapura yang masih berdiri hingga saat ini beserta barang-barang koleksi para Sultan yang berkelas. Istana Siak Sri Indrapura berlokasi di Sri Indrapura, Kp. Dalam, Kabupaten Siak, Riau. Istana ini memiliki nama lain yaitu Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur. Saat ini, Istana ini sudah berstatus sebagai cagar budaya yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 2004. Sejarah bukan hanya cerita bangunan kuno, namun menceritakan kehidupan manusianya dari masa ke masa.
Siak memegang peran penting sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan di masa lalu.
Dok. Alam Siak Lestari
Sebagian besar wilayah Siak adalah lahan gambut. Di dalam warisan budaya di antaranya peninggalan sejarah atau arkeologi, dan kesenian tradisional yang merupakan peninggalan masa lalu berupa benda yang tak berwujud, seperti keahlian, keterampilan, tarian dan musik tradisional. Budaya Melayu Siak merupakan salah satu ciri dan jati diri yang menjadi kebanggaan Masyarakat dan seharusnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Peninggalan budaya Melayu Siak dikhawatirkan akan mengalami kepunahan dan kerusakan yang diakibatkan oleh manusia atau proses alam, begitupun sebaliknya, sehingga diperlukan pelestarian alam, seni dan budaya yang konkrit. Salah satunya juga dalam usaha untuk menghindari pengklaiman budaya oleh daerah lain ataupun negara lain sebagai sumber ekonomi.
Hubungan antara kebudayaan dengan alam di Siak begitu erat. Tradisi dan kebudayaan yang ada, bersumber dari alam yang begitu kaya. Ritual-ritual kebudayaan yang berupa benda dan non-benda semua ditujukan untuk menjaga dan merawat alam Siak. Dasar ini yang membuat masyarakat di Siak memegang teguh warisan budaya, hingga mengakar di benak mereka. Setiap apapun yang mereka lakukan tak akan pernah terlepas dari tradisi leluhur Melayu Siak.
Dok. Liputan6.com/Api yang melalap lahan gambut di Pekanbaru, Provinsi Riau, (1/2). Lokasi ini merupakan salah satu dari 73 titik api yang terdeteksi menyebabkan kabut asap di pulau Sumatera. (AFP Photo/Wahyudi)
Siak dan gambut tidak bisa dipisahkan sebagaimana hubungan manusia, alam dan budaya. Ada 22,1 juta hektar lebih lahan gambut di Indonesia. Sekitar 1.767.303 Hektar berada di Sumatera. Setengahnya, 869.721 Hektar berada di Siak. Lahan Gambut di Siak Sekitar 57% dari luas total wilayahnya.
LAHAN GAMBUT
Lahan yang terbentuk dari timbunan material organik, berupa sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, jasad hewan yang membusuk dan terdekomposisi dalam tanah. Timbunan tersebut mengalami proses selama ribuan tahun. Di Indonesia rata-rata suatu lahan membutuhkan waktu 4000 sampai 6000 tahun untuk menjadi lahan gambut.
Proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama untuk gambut terbentuk sempurna. Uniknya lagi lahan gambut mengandung air yang sangat tinggi, bisa menampung 13 kali dari bobot tanah. Oleh karena itu sifat gambut ini seperti spons, jika diinjak akan membal-membal. Gambut juga menyimpan karbon yang sangat tinggi, tercatat menyimpan 57 gigaton karbon. Jumlah ini 20x lipat lebih banyak dibandingkan karbon yang tersimpan di hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral, sehingga lahan ini ideal untuk mengatasi perubahan iklim. Oleh sebab itu, mereka yang menjaga alam Siak berbanding lurus dengan menjaga cadangan karbon dan merawat paru-paru dunia.
MEMBASAHI LAHAN GAMBUT
Musrahmad Igun, biasa disapa Gun, seorang pekerja keras. Ia juga pernah aktif sebagai seorang fotografer, videografer dan telah banyak melakukan pergerakan-pergerakan yang melibatkan anak muda. Menularkan semangat untuk terus produktif di kampungnya sendiri. Seiring berjalannya waktu, ia bertemu kembali dengan gambut. Lahan yang sedari kecil ada di sekitarnya, ia semakin dalam melihat permasalahan demi permasalahan yang terjadi di kampungnya, pelan-pelan mendorongnya untuk melakukan sesuatu untuk daerahnya sendiri.
Gun, terlahir di Kabupaten Siak, yang memiliki luasan 8000 KM persegi, 57% nya lahan gambut, lahan ini mudah terbakar dan jika terbakar tidak seperti kebakaran pada umumnya, sifat tanahnya yang berlapis, berongga dan basah, membuatnya tak mudah mendeteksi api, dikarenakan api berada di kedalaman 12 meter. Api tak tampak di permukaan, hanya terlihat asap yang bergoyang.
Mengatasi perkara ini tentu tak mudah, dibutuhkan solusi yang efektif sekaligus produktif dalam pemanfaatan potensinya. Juga bagaimana pemanfaatan ini sejalan dengan tradisi dan ritual-ritual kebudayaan yang turun temurun di Siak.
Dok. Alam Siak Lestari
Dok. Alam Siak Lestari
Bertahun-tahun Gun dihadapi dengan permasalahan ini, bagaimana menjaga dan merawat gambut? Potensi apa yang bisa digali untuk pemanfaatan lahan gambut? Solusi apa yang konsisten dan produktif? Di tahun 2019 Gun melakukan beberapa kali diskusi dengan pihak-pihak yang sekiranya mampu membantu mencari jalan keluar, seperti berdiskusi dengan ilmuwan, budayawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) dan juga pemerintah setempat. Hingga pada suatu ketika ia menyadari satu kalimat yang berulang-ulang didengarnya “Basah ya harus ada air”, ucapan ini sederhana dan terkesan remeh, tetapi malah membawa diskusi yang menarik. Seolah seperti kalimat candaan, tapi maknanya penting bagi kelangsungan hidup gambut.
Gun merangkai diskusi itu lebih dalam untuk mencapai solusi ilmiah yang mampu memberi harapan. Gun berharap pemuda-pemudi lokal seharusnya mampu berkontribusi untuk daerahnya sendiri, agar tidak tergantung pada sentralisasi yang monoton. Bukankah anak muda seharusnya mampu hidup dan menghidupi tanah kelahirannya sendiri? Bukan malah menjadi bagian dari mesin industrialisasi arus utama.
Parameter-parameter mulai dipikirkan, dalam usaha untuk selalu membasahi gambut, terpikir untuk budidaya ikan. Sesederhana itu cara berpikirnya, ikan endemik apa yang hidup di gambut? Dengan begitu akan membuat habitat di gambut tetap terjaga.
Hambatan dan keuntungan budidaya ikan, hingga yang mampu menopang ekonomi masyarakat. Karena manusia lokal lah yang paling dekat dengan gambut, mereka tinggal bersama gambut, sehari-hari hidup bersama gambut. Jadi mengolah, menjaga dan merawat gambut seharusnya jadi makanan empuk bagi mereka.
IKAN APA YANG BISA DIBUDIDAYA DI LAHAN GAMBUT?
Ada satu tradisi masyarakat melayu di Siak. Biasanya, setelah ibu melahirkan, mereka memiliki kebiasaan turun temurun untuk makan ikan gabus. Tradisi ini telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun lalu, sebagai solusi utama untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Ini sangat menarik. Kenapa tradisi ini terjadi dan tetap dipertahankan sampai sekarang? Pasti ada alasan yang kuat di balik itu semua.
Ikan gabus merupakan hewan endemik di lahan gambut. Setelah melakukan riset-riset kebudayaan mengenai tradisi ini, Gun dan muda-mudi lokal melakukan riset-riset ilmiah untuk budidaya ikan gabus. Sampai akhirnya mereka membangun satu konsep yang detail, dengan proyeksi yang menarik, membawa konsep restorative economy. Dengan lika-liku perjalanan yang dilalui, serta dukungan beberapa entitas dan pemerintahan setempat, mereka membangun satu perusahaan masyarakat yang bernama Alam Siak Lestari (ASL). Istilah “perusahaan” terkadang membuat trauma bagi masyarakat dan alam, karena maknanya dekat dengan ekstraktif dan eksploitatif. Tapi yang mereka bangun berbeda, mereka melakukan pendekatan restoratif. Dinamakan perusahaan masyarakat karena pemegang sahamnya sendiri adalah masyarakat, melalui Badan Usaha Milik Desa.
Keberadaan ASL membuat generasi-generasi muda mau kembali ke kampung halaman, setelah melanglang buana mencari ilmu dan mengasah kemampuan di luar Siak. Hampir semua staff ASL adalah sarjana dari berbagai bidang dan total bekerja di kampungnya sendiri. Satu wujud harapan setiap warga lokal terhadap daerahnya sendiri. Bisa hidup dan menghidupi daerahnya, dirinya sendiri sekaligus memberi dampak ke masyarakat dan lingkungan.
Posisinya yang strategis di tepi Sungai Siak menjadikannya sebagai pusat pertemuan dan pertukaran budaya antara berbagai bangsa dan etnis.ok.
Salah satu tim di ASL bernama Fahmi, ia lulus cumlaude di Telkom University. Fahmi memilih untuk pulang kembali ke Siak, dibanding mengikuti panggilan-panggilan kerja di Jakarta. Alam Siak Lestari juga melahirkan entitas-entitas baru yang bergerak dalam satu visi yang sama, berperan langsung untuk menjaga dan membangun Siak.
Skelas, Pinaloka, dan Haha Hihi Media secara organik terbentuk didasari kemampuan anggota komunitas yang berbudaya. Skelas adalah organisasi anak muda, bergerak dibidang Inkubasi UMKM. Pinaloka, sebuah perusahaan yang mengolah hilirisasi nanas yang ditanam di lahan gambut. Lalu ada Haha Hihi Media dibangun sebagai perusahaan media yang dibangun untuk memfokuskan komunikasi dan narasi untuk semua entitas-entitas yang terkait. Keberadaan ASL menjadi mercusuar baru di Siak, meningkatkan kepercayaan diri generasi muda agar terus produktif untuk membangun daerahnya sendiri.
Posisi duduk Sultan Syarif Hasyim (tengah, Sultan ke-11) yang menarik, kursi sandaran dibalik, lalu ia duduk dengan posisi membuka kedua pahanya. Ini menunjukkan bahwa Sultan adalah orang yang percaya diri, unik, berani, cosmopolitan dan visioner. Kami melihat karakter yang kuat ini di diri pemuda-pemudi lokal. Tidak terasa kehadiran
“Mental inferior/inlander/dijajah” tidak berlaku di bumi Siak, padahal selama ini kencang digaungkan Indonesia sebagai bangsa yang dijajah ratusan tahun dan dianggap sebagai bangsa yang lemah. Namun, itu semua tak terasa ketika Siak Sri Inderapura. Istana megah dengan koleksi yang mewah, berkelas, bergaul dengan bangsa eropa, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Lihat saja foto Sultan dan rekan-rekannya sedang pose di atas, stylish.
Pada saat Gun dan tim meriset ikan gabus, mereka menemukan banyak hal yang agak meremehkan keberadaan ikan gabus. Beberapa bilang ikan ini bentuknya jelek, rasanya juga tidak terlalu enak. Lalu jika mengolahnya tidak pas, akan keluar bau amis yang menjijikkan. Di luar perkiraan buruk tentang ikan gabus, ternyata ikan ini mengandung albumin yang sangat tinggi. Albumin adalah unsur yang dapat membuat sel-sel tubuh lebih cepat recovery. Terutama bagi yang sedang melakukan kemoterapi dan ibu yang baru melahirkan. Dalam melalui proses penyembuhan itu, tubuh mereka membutuhkan albumin.
Unsur Albumin dalam tubuh manusia bertindak sebagai modulator tekanan onkotik plasma yang paling signifikan dan berfungsi untuk mengangkut berbagai zat yang disebut ligan. Ligan yang diangkut oleh albumin serum antara lain, ligan endogen seperti bilirubin, ion, asam lemak, dan ligan eksogen seperti obat-obatan. (Moman, Gupta & Varacallo, 2022)
Albumin dari ikan gabus ini sangat tinggi, sistem mengekstraksi dan mengambil albumin mereka bangun dengan pola yang efektif. Pada proses ekstraksi itu masih tersisa daging ikannya. Setelah diteliti, daging ikan ini mengandung protein yang juga tinggi. Lahirlah potensi; menjadi produk baru yang bisa dikonsumsi masyarakat.
Selain daging, kulit ikan gabus bisa diolah menjadi tepung dan pakan hewan. Sisiknya mengandung kolagen yang tinggi, kedepannya bisa menjadi produk-produk kosmetik organik. Tulangnya mengandung kalsium, bisa diolah menjadi tepung kalsium. Lalu, isi perut ikan dan kepala ikan bisa diproses menjadi pupuk untuk perbaikan tanah. Dalam prosesnya tidak ada limbah ikan gabus yang tersisa, semua bagian dari ikan gabus memiliki manfaat yang tinggi. Sehingga ketika ikan gabus diolah, yang tersisa hanya nama. Hasilnya; seluruh bagian ikan gabus bermanfaat bagi alam, hewan dan manusia.
Dok. Alam Siak Lestari (Gun, paling kanan.)
Koalisi ikan gabus dan hutan gambut telah menciptakan ekosistem yang memberi manfaat. Apa yang Gun lakukan membuka cakrawala kreasi lokal bagi negeri ini. Awal kegelisahan dan ketulusan menjalaninya akan membawa peradaban manusia ke level selanjutnya. Peradaban yang selaras berdampingan antara manusia dan alam. Ini seharusnya menjadi inspirasi dan membuat manusia berpikir ribuan kali untuk melakukan kegiatan dan bisnis yang ekstraktif.
Selayaknya seorang seniman, budayawan yang menjaga dan merawat kebudayaan, Gun membaca pesan-pesan alam dengan sentuhannya. Ia bergerak jauh dari dunia populer, menjaga gambut sebagai kanvasnya dan ikan gabus sebagai lukisannya. Gun membuat kita dapat memahami isu dan permasalahan lingkungan dengan mudah, bahkan memberi solusi terhadap krisis iklim yang berkepanjangan. Cara berfikirnya membuat alam jadi bagian perencanaan bersama. Alam bukan subjek mati, dia hidup dan menghidupi. Memperpendek jarak masalah dengan solusi restoratif dengan satu resep: melibatkan alam.
Anak muda Siak saat ini sangat aktif bergerak untuk melestarikan alam, seni dan budayaok.
Apalah makna kebudayaan yang ratusan tahun dibangun, jika alam tempat ia berdiri hancur lebur? Bisa saja peradaban budaya itu habis dimakan ketamakan mengeruk alam, dirontokkan krisis iklim yang sebagian besar manusia belum juga pahami. Kita harus bersyukur, karena generasi muda Siak memiliki kecintaan terhadap alam dan budayanya–mereka tak tinggal diam. Menjaga alam sama saja menjaga kebudayaan. Pun sebaliknya, menjaga kebudayaan akan berbanding lurus dengan merawat alam. Apakah manusia di desa, kabupaten, kota lain di Indonesia memiliki kepedulian dan pemahaman yang sama?
Alam Siak Lestari
Menciptakan bisnis bernilai tambah untuk komoditas yang ramah Gambut. Alam Siak Lestari terdiri dari profesional Indonesia dengan total 20 tahun pengalaman dan jaringan, yang kepalai oleh pemimpin asli pemuda Siak.
Pendiri :
Musrahmad Igun – Direktur
Lokasi :
Jl. Tengku Buang Asmara, Kp. Rempak, Kec. Siak, Kabupaten Siak, Riau 28773
Website :
alamsiaklestari.com
Media Sosial :
@alamsiaklestari