MENCARI INDONESIA DALAM GERAK BALET

Pada periode 1970 hingga 1980-an pernah ada usaha dari para praktisi dan akademisi tari Indonesia untuk menghadirkan balet bercitrakan Indonesia. Pergerakan ini sangat menarik, khususnya bagaimana mengupayakan balet sebagai tari klasik dari Barat, dengan teknik yang dapat dikatakan mapan, dihadirkan melalui corak ke-Indonesia-an. Tidak hanya melalui proses konseptual sampai pertunjukan, wacana mengenai balet bercitrakan Indonesia ini sempat dijadikan semacam ‘tawaran khusus’ pada agenda Pekan Balet yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, yang bekerja sama dengan Ikatan Pengajar-Pelatih Balet (IPPB) Jakarta.

 

Dok. Miss Fari Pointe to Remember (Yulianti Parani). 

Usaha awal untuk menampilkan citra Indonesia dalam suatu karya tari balet, menurut Edi Sedyawati (Kompas, 13 Desember 1982) selaku pemerhati tari dan Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, sebenarnya sudah dilakukan sejak awal periode 1960-an. Pelopornya adalah Yulianti Parani yang pada waktu itu masih dikenal sebagai You Lian. Karya pertama yang dihasilkan Yulianti berjudul Sangkuriang (1960). Selanjutnya pada periode tahun 1961-1965, ia menciptakan beberapa karya tari balet lain yang mengambil tema Indonesia, seperti Petruk, Kesan Langgar, Capung Kecimpung, dan Variasi Sriwijaya.

Selain itu, ia juga mengolah lagu-lagu  Indonesia ke dalam karyanya yang berjudul Burung Gelatik. Namun, minat Yulianti kemudian beralih ke perbendaharaan kesenian Betawi yang melahirkan karya tari sangat bercitra Indonesia seperti Garong-garong, Plesiran, Pendekar Perempuan, dan lainnya. Akan tetapi berjalannya waktu, karya-karya tari tersebut tidak lagi bersandar pada gerak balet.

Dok. Telisik Tari.

PERSENTUHAN DENGAN TARI INDONESIA

Berlanjut pada periode 1970 – 1980-an, pembicaraan terkait konsep balet ala Indonesia tidak bisa lepas dari sosok kreatif Farida Feisol (juga dikenal dengan nama Farida Oetoyo). Ia adalah tokoh balet Indonesia yang sedari usia sembilan tahun mendapat pendidikan balet klasik di Moskow, Rusia. Ia merupakan seniman paling getol melakukan riset, pencarian dan mendorong lahirnya konsep balet Indonesia. Persentuhan Farida dengan penata tari tradisi dan modern dari berbagai daerah di Indonesia menumbuhkan satu kesadaran penting dalam proses kreatifnya untuk mencari sumber-sumber inspirasi dalam mengisi penciptaan balet.

 

 

Dok. Dewan Kesenian Jakarta. Proses latihan “Maniera” karya Farida Feisol. 

Salah satu pertunjukan penting yang kemudian menjadi titik-tumpu dan kerap dibicarakan dalam lingkaran tari Indonesia adalah garapan bersama Farida Feisol dengan Huriah Adam melalui pertunjukan Sendratari Malin Kundang. Melalui pertunjukan ini Farida memberikan sentuhan balet dalam karya Huriah, sebaliknya Huriah turut memberikan pengetahuan gerak tari Minang (atau Melayu) pada Farida. Keduanya saling mengisi, merespon dan memberikan nilai-nilai yang lebih dalam pada setiap karakter tarian mereka. Dalam beberapa catatan, Huriah dikatakan dapat dengan cepat mengikuti pola balet yang ditawarkan Farida. Misal, “Sendratari Malin Kundang” pertama kali digarap dan dipertunjukkan Huriah Adam melalui Huriah Adam Dance Group pada 31 Januari-1 Februari 1970.

Dok. Pojok Seni.com (Huriah Adam, Koreografer Legendaris dari Padang Panjang).

Karena respon yang baik dan sebagai bentuk evolusi perkawinan dua budaya ini, pertunjukan tersebut kemudian berulang digarap beberapa tahun sesudahnya melalui Bengkel Kerja Tari. Melibatkan Farida Feisol, Julianti Parani, juga nama-nama lain seperti Sardono W Kusuma, I Wayan Diya, Sentot, June Becks, dan penari lainnya.

 

Dok. Buku Saya Farida, sebuah autobiografi.

 

Sepeninggal Huriah Adam, Farida Feisol  mementaskan Sendratari Malin Kundang melalui Bengkel Kerja Tari dan grup atas namanya sendiri. Persentuhan ini, utamanya dengan memanfaatkan kekayaan folklor Indonesia. Hal tersebut kemudian menumbuhkan kesadaran Farida Feisol bahwa balet bercitrakan Indonesia perlahan mulai dapat dibentuk.

Seiring proses Sendratari Malin Kundang, salah satu koreografi balet Farida yang disebut-sebut bercorakkan Indonesia adalah Sendratari Rama dan Sinta, yang dipentaskan di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki pada Pekan Seni Dewan Kesenian Jakarta, 14-15 Desember 1972. Sendratari yang bersumber dari Epos Ramayana ini sepenuhnya dibawakan dalam corak balet dengan komposisi musik terdiri dari gitar, gendang, dan beberapa alat musik lainnya (“Rama & Sinta versi farida: suatu pemerkosaan terhadap kepercayaan?”, Berita Buana, 30 Januari 1973). Pementasan ini dipandang sebagai pengejawantahan usaha Farida mencari corak tersendiri dari pengembangan gerak balet klasik yang mulai ditinggalkannya. Ia merasakan hadirnya “Indonesia” dalam pencariannya.

Dok. Commons.wikimedia.org Lakon Ramayana dan Sinta dipentaskan dalam bentuk tari balet.

Usaha Farida mencari unsur-unsur lain di luar balet klasik turut tercatat dalam pertunjukan Carmina Burana yang dipentaskan di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 21-24 November 1974. Bersamaaan dengan koreografi balet berjudul Episode karya June Becks. Pertunjukan ini sendiri berangkat dari komposisi musik ciptaan Carl Orff berdasarkan karya puisi-puisi biarawan/pendeta abad pertengahan yang menceritakan suka-duka kehidupan mereka. Dalam pertunjukan lain berjudul Carmina Burana Farida meluaskan proses kreatifnya lewat olahan balet modern dengan beberapa unsur tari Jawa. Namun ia tidak mau memaksa penonton supaya mau menerima ide-ide pencariannya lewat perpaduan balet modern dengan tari Jawa tersebut. Ia juga tidak mau disebut berupaya mencapai pola-pola baru, melainkan sedang melempar masalah, dan mempersilahkan penonton untuk menilainya (“Tentang Tari carmina Burana dan Episode”, Angkatan Bersenjata, 19 November 1974).

 

Carmina Burana kembali dipentaskan oleh Farida dengan pertunjukan lebih teratur pada 23-25 Februari 1976. Menariknya, pada pertunjukan kali ini ia turut menghadirkan gerakan berjudul Fariasi Minang, yang di dalam pertunjukan tersebut menghadirkan gerakan Tari Piring, Tari Sapu Tangan, dan Tari Rebana. Dalam tarian ini ia berupaya mendinamisasi gerakan-gerakannya sehingga tidak monoton dan dipertahankan orisinalitasnya.

Tentang Fariasi Minang, Farida mengatakan pemilihan tari Minang karena gaya tarian itu lebih luwes menerima pemberian, dibanding dengan tarian Jawa dan Bali. Pembaruan yang dilakukan Farida dalam koreografi itu adalah menambah banyak putaran tangan dan penari laki-laki yang lebih banyak melompat.

Farida ingin penari laki-laki lebih terlihat maskulin, maka dipakaikan celana galembong dan penari perempuan menggunakan pakaian balet biasa. Berbagai gemerlapan yang biasa hadir dalam tarian kreasi baru Minang ditinggalkannya, dengan iringan musik yang dimainkan secara langsung, bukan rekaman.

Dok. Historia.

Tiga tahun setelah pertunjukan Carmina Burana dan Fariasi Minang, Farida menghadirkan Sendratari Gunung Agung Meletus, yang dipentaskan 18-20 Mei 1979 di Teater Terbuka TIM. Pertunjukan ini dipandang sebagai mahakarya sekaligus keberhasilan dalam menghadirkan balet bercitrakan Indonesia. Dalam wawancara dengan Sinar Harapan, 3 Juni 1979, Farida mengatakan, meskipun dasar tari baletnya banyak berpijak pada Rusia, namun ia bertekad menghadirkan balet Indonesia. Ia berpendapat bahwa di Indonesia seyogyanya bisa tercipta paduan tari antara Barat dan tradisional. Karena budaya Indonesia yang begitu kokoh.

Dalam pertunjukan Gunung Agung Meletus, terdapat paduan yang menyatu antara balet sebagai dasar pokok dan unsur-unsur tari Bali yang tidak terlihat secara utuh. Gunung Agung Meletus sendiri merupakan sendratari yang berangkat dari komposisi musik Trisutji Kamal, dari kisah meletusnya Gunung Agung di Bali tahun 1962. Sendratari yang turut didukung oleh Danarto sebagai penata artistik dibagi dalam tiga babak, yang dapat dipergelarkan secara terpisah sebagai petilan.

Sendratari Gunung Agung Meletus mendapat sambutan hangat dari penonton. Kepada koran Sinar Harapan, 19 Mei 1979, beberapa penonton asing menyatakan garapan Farida Feisol tersebut sangat patut untuk dibawa berkeliling ke negara-negara Barat. Misal, seorang diplomat Australia mengungkapkan bahwa pertunjukan tersebut adalah keberhasilan meng-Indonesia-kan balet. Gerak Kecak, Tamulilingan, dan lainnya, tetap kental ke-Bali-annya, sekalipun dibawa secara balet.

Meninggalkan Balet Klasik, Mencari Balet Indonesia

Dok. Indonesia Kaya (Farida Feisol).

Perjalanan Farida Feisol menghadirkan balet bercitrakan Indonesia bukan tidak mendatangkan risiko. Dalam wawancaranya dengan Kompas, 30 November 1983, Farida mengatakan rekan-rekannya di kalangan balet sendiri tidak setuju dengan garapan seperti itu, malahan bentuk dukungan lebih datang dari orang luar balet. Namun dapat dilihat, betapa keinginan besar Farida itu timbul selain dari keinginannya untuk mencari sesuatu di luar balet klasik yang dipelajari, juga datang dari sikap statis dalam melihat pola-pola balet lama.

Keyakinan Farida Feisol akan kekayaan Indonesia untuk diolah dalam bentuk balet agaknya semakin begitu kuat sekembalinya mempelajari balet secara intensif selama delapan bulan di Amerika Serikat (1973-1974). Di negeri Paman Sam itu, ia belajar pada Merce Cunningham, seorang koreografer terkenal di New York. Ia juga mempelajari teknik tari Martha Graham di June Lewis Studio selama dua bulan, belajar Jazz Ballet di Billy Mahoni selama lima bulan, dan ‘menyegarkan diri’ selama tiga bulan pada bengkel balet klasik di Robert Joffrey Studio.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, Farida malah sampai pada kesimpulan bahwa di negeri itu para seniman berhenti pada titik individualistik, terutama seniman avant-gardist yang bosan pada pola-pola balet lama (Kompas, 4 Juli 1974). Farida menyatakan, meski tidak dapat dibandingkan dengan balet Rusia yang terlampau agung dan indah, balet amerika tidak memiliki emosi dan keagungan. Pada titik tersebut, ia semakin meyakini bahwa dunia Timur jauh lebih kaya dibanding dunia Barat.

Menurut Farida, Indonesia memberikan kemungkinan yang tak terhingga untuk kreasi tari. Sekembalinya dari Amerika, ia dengan tegas mengungkapkan seluruh perhatiannya telah bertumpu di tanah air sendiri. Konsistensi Farida untuk menemukan balet citra Indonesia terlihat dari proses kreatifnya dalam sepuluh tahun sepulang dari Amerika. Jawabannya pun tetap konsisten ketika sepuluh tahun sesudahnya. Ketika ditanya, kenapa sepulang dari Barat, Farida banyak melahirkan balet citra Indonesia, ia menyatakan itu adalah sebuah kewajaran. Menurutnya tidak ada salahnya membuat kesenian dengan latar belakang tradisi, kendatipun kesenian itu pada mulanya berasal dari Barat. Justru di sinilah istimewanya (Harian Merdeka, 14 Januari 1984).

Beberapa karya Farida yang memperlihatkan balet bercitra Indonesia juga terlihat pada agenda Pekan Balet pertama hingga ketiga yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Ikatan Pelatih-Pengajar Balet (IPPB) Jakarta. Pada Pekan Balet I tahun 1982, Farida melalui grup Sumber Cipta menghadirkan kembali Gunung Agung Meletus. Sementara itu. Pada Pekan Ballet II tahun 1983 karya Farida menghadirkan karya yang berjudul Daun Pulus yang dipertunjukan di Teater Tertutup TIM, 26 November 1983. Salah seorang pengamat, Franki Raden, bahkan menyebut garapan tersebut sebagai sebuah reformasi dalam estetika balet.

Pengamat lain, Sal Murgiyanto, menilai beberapa grup dalam Pekan Ballet II tahun 1983 sudah siap untuk memasukkan unsur Indonesia ke dalam balet, di antaranya Sumber Cipta dengan Daun Pulus dan Dewi Rani dengan Calonang. Menurut Sal, grup balet Indonesia memang dihadapkan pada dua pilihan bertahan pada yang klasik atau menyesuaikan dengan tuntutan masa depan. Ia mengatakan bahwa di Eropa dan Amerika balet klasik sungguhan merupakan tontonan prestise yang mahal: Opera Paris, Kirov, Royal Ballet, New York City Ballet, yang biayanya tidak dapat ditanggung oleh pemerintahan kotanya. Oleh karena itu, muncul banyak company ballet kecil juga modern dance, terang Sal.

Di Paris, Ballet Opera Paris mulai keluar dari gedung megah dan main di pinggiran kota Paris. Peristiwa yang kemudian melahirkan “Theatre du Silence” yang berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan penonton masyarakat yang baru (Kompas, 13 Desember 1983). Perihal memadukan unsur Indonesia dalam balet, ungkap Sal, memang tidak mudah. Dibutuhkan bukan saja pengalaman tetapi juga pemahaman dan kesediaan untuk terus mencari tanpa henti. Hal ini menurutnya sudah terlihat dari garapan Daun Pulus Farida Feisol (iringan Slamet Abdul Sjukur) yang diangkat dari Jaipongan, tanpa menjadi murah.

Dalam diskusi Pekan Balet II tahun 1983, melalui makalahnya berjudul Masalah-masalah yang Dihadapi dalam Menata Tari, Farida Feisol selaku koreografer yang sudah bertungkus lumus menghadirkan balet bercitra Indonesia, mengatakan bahwa proses untuk menggabungkan sesuatu yang berbau Indonesia ke dalam balet memang sulit sekali. Sementara itu Nanny Lubis, yang merupakan Ketua IPPB Jakarta dalam makalahnya berjudul Sistem Pendidikan Balet di Indonesia mengatakan, bahwa memasukkan atau menggabungkan unsur seni Indonesia bukan berarti sekedar menempelkan. Ia lebih menekankan pentingnya untuk mempelajari teknik yang lebih baik bagi calon penari. Karena teknik jauh lebih mendasar daripada hanya sekedar ingin mencari sesuatu yang bernapaskan Indonesia. Nanny memandang citra Indonesia akan bisa dicapai bila dasar balet dari sebuah grup sudah kokoh.

Masalah teknik ini memang kemudian mencari pokok persoalan ketika beberapa tokoh balet membicarakan citra atau nuansa Indonesia dalam balet. Yulianti Parani salah seorang tokoh balet dalam diskusi tersebut turut mengatakan penguasaan teknik mutlak diperlukan. Pemahaman citra Indonesia dalam kesenian bukan merupakan suatu pengertian yang dipelajari secara harfiah. Ia mengatakan tari tradisional tidak bisa begitu saja dimasukkan ke dalam balet. Butuh bertahun-tahun mempelajari dan menghayati sebelum dituangkan dalam koreografi dengan unsur gerak, musik dan kostum yang bernuansa Indonesia.

Sepanjang waktu penata tari, koreografer, atau grup balet masih berupaya menjajakinya dengan model pencarian berbeda-beda. Tentu dengan berbagai usaha beriring keluh-susah dalam penggarapan balet bercitra Indonesia. Meskipun pencarian tersebut tidak lagi diiringi dengan penyebutan “balet citra Indonesia” karena dianggap identitasnya terlalu kabur. Baik Farida Feisol selaku orang yang getol mengupayakan munculnya balet ala Indonesia, maupun Yulianti Parani yang memulai lalu menemukan sesuatu yang lain, para penata tari/koreografer lain sudah berupaya menancapkan satu wacana penting dalam perjalanan balet di Indonesia meskipun narasi mengenai balet bercitra Indonesia tidak terdengar lagi saat ini.

Tapi, semangat dan perjuangan Farida Feisol akan terus menjadi fondasi yang kuat bagi generasi muda agar tak hanya larut dalam budaya barat. Farida memperlihatkan keindahan budaya Indonesia yang digdaya.

Dok. Pribadi Farida Feisol.

Penulis Esha Tegar Putra

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Seni,
Budaya,
Alam &
Manusia.

Merekam dan merespons para penerobos seni & budaya dalam perspektif Indonesia lampau dan kini. Mencakupi seni, budaya, antropologi, arsitektur, hingga literasi.
© 2024 Jagarawat Studio. All Rights Reserved.